Sabtu, 26 April 2008

Dari Era Soekarno ke Soeharto- Sebuah Esai Kenangan Sastrawan

Ketika peringatan hari armada di Tanjung Priok, Bung Karno duduk di tingkat dua menghadap ke laut, menonton parade kapal-kapal perang, kapal cepat dan kapal selam. Kami wartawan tak dapat melihatnya. Aku mengajak Trees Nio dari Kompas dan seorang wartawati cantik jelita putri Solo. Ketika kami bertiga sampai di ujung dermaga, Bung Karno segera menutup botaknya dengan handuk. Untung kami tak diusir, mungkin karena ada dua wartawati. Kemudian kami bertiga naik becak ke kantor kami di Pintu Besar Selatan. Dalam perjalanan yang lambat itu aku diam saja menjaga jarak walaupun aku duduk di tengah. Trees diam saja tetapi si jelita cantik putri Solo bertanya, "Kau sudah kawin, belum?" Aku usil, "Belum," Lalu, Ee, keburu tua, lu, kawinlah cepat."

Tetapi aku tak mau cari perkara. Dari kantor, aku ambil motorku lalu meluncur ke Bandung dan ke Garut, mandi air panas dan meluncur lagi ke Tasik, Ciamis dan Banjar. Di Banjar, ketika duduk lama-lama di sebuah lapak kopi ada polisi yang cemburu karena aku duduk terlalu lama menghadapi pacarnya. Dia membuat aku marah lalu aku bilang bahwa aku sangat menghormati polisi dan kalau Bapak mau berkelahi slahkan buka dulu pakaian polisinya, lalu kita duel di belakang sana.

Polisi itu kemudian ke posnya dan menelpon. "Ada wartawan yang mau pukul saya!" maka datanglah satu mobil mengangkut aku ke kantor mereka. Anehnya komandan mereka memesan makan dan minuman dan ngobrol cukup lama.

Aku bertemu Trees Nio di Washington DC di tahun 1990. Dia bertanya, "Bapak dari departemen mana?" Aku kaget. "O, aku dari departeman pertambangan. Aku menambang emas dengan mesin tik, tik-tik, tik-tik." Kataku dengan muka serius. "Gerson!" katanya.

"Dulu anda tinggi," sambungnya. Seminggu kemudian dia menyusulku kembali ke Tanah Air dalam bentuk jenasah. Terkenanglah aku pada suatu hari kami terbang menembus awan di atas Bandung lalu pesawat seakan menyelam ke dalam loteng gemawan lalu muncul di atas kota. Kami meliput upacara wisuda perwira udara dimana Bung Karno hadir. Di sore hari aku membujuk Trees untuk menghadap komandan, mengatakan bahwa kami tidak membawa pakaian ganti. Komandan menyuruh seorang kolonel membagikan kaos pelatih. Besoknya ada acara terjun payung. Aku berdiri ditengah lapangan.Karena ada kaos pelatihnya, ada tentara yang melaporkan bahwa ada yang jatuh dan cedera di kebun jagung. Aku terpaksa memerintahkan segera angkut dengan ambulans. Lalu aku membuat tulisan tentang suasana penerjunan. Sinar Harapan penuh dengan gambar-gambar yang menarik. Laporan pandangan mata dengan gambar-gambar yang menarik itu menyebabkan rekan Zaglul dari Warta Bhakti berkata, "Kau hampir membuat saya dipecat. Saya dipanggil bos, melemparkan Sinar Harapan dimuka saya lalu bertanya, mau jadi wartawan nggak?"

Sekali aku memberanikan diri masuk ke istana walaupun tak punya kartu pers istana dengan cara ngobrol santai dengan gadis-gadis Bhineka Tunggal Ika. Bung Karno berpidato berapi-api menyambut berhasilnya pendakian Jayawijaya di Irian. Lagi-lagi karena takut ada wartawan kiri yang membisik kepada intel bahwa aku manikebu kualat maka alat tulisku menolongku. Aku mencatat pidato Bung Karno dengan steno supaya intel-intel mengenalku sebagai wartawan yang sibuk. Aku keluar dari istana. Aku ingin membual kepada rekan wartawan bahwa ada intel yang melihat aku sibuk menulis dengan steno lalu membawa kopiannya kepadaku.

Ketakutanku ini mungkin berjangkit dari Wiratmo Sukito, konseptor Manifes Kebudayaan yang diejek dengan istilah manikebu. Ketika manikebu diganyang aku membonceng dia dan di atas sepeda motor ia mengatakan. "Saya takut, Son, saya takut..." Aku juga takut, apalagi ketika terbang bersama rombongan Menteri Perkebunan Frans Seda ke Surabaya. Panitia penyambut menteri membaca nama-nama rombongan yang terdiri dari 30 orang. Seorang anggota panitia penyambut begitu melihat namaku, berkata keras, "Ini manikebu!" Sialan - kataku dalam hati dan mulai takutlah aku. Malam itu aku mencari mantan-mantan peer group-ku di bidang kesenian dan begadang sampai pagi.

Dua hari sebelum pembunuhan jenderal dan perwira Piere Tendean, ada seorang tukang rumputnya seorang haji penjual daging menggali lubang di tanah kosong bukan miliknya.

"Mau bikin comberan untuk limbah usaha tahu?" tanyaku.

"Gali saja," katanya.

Setelah mendengar pengumuman radio di pagi hari oleh Dewan Revolusinya kolonel Untung lewat radio. Aku ke kantor lalu berkeliling seharian meliput situasi. Malam itu tukang rumput itu datang dan menanyakan perkembangan situasi. Aku mengatakan bahwa RRI baru direbut oleh tentara non komunis. Lalu ia kembali ke rumahnya. Besoknya ia sekeluarga dan anak lelakinya yang bekerja sebagai sopir truk pindah rumah. Rumahnya kosong. Semula aku tak berpikir macam-macam. Baru setelah menonton dramanya Taufiq Ismail yang mengatakan bahwa sehabis pembantaian jenderal maka akan menyusul ulama, intelektual dan seniman barulah aku membayangkan dan bertanya apakah lubang itu untuk aku dan anak isteriku? Benarkah apa yang dikatakan dalam drama Taufiq itu? Padahal aku baru saja menerima teman sekelasku di SGA Kristen bernama Achmad Fanany dan isterinya yang ternyata terdaftar sebagai anggota PGRI bawahan PKI. Aku mencarikan dia pekerjaan.

Mula-mula datang si Pending Emas ke gubukku, mencari seorang lay out man. Aku perkenalkan temanku itu. Kemudian aku masukkan dia ke Harian KAMI. Ia luput dari pembunuhan massal di Jawa Timur. Ini semata karena humanisme seniman. Aku lihat juga Gunawan Muhamad menerima seorang wartawan yang pernah berkata bahwa kalau komunisme menang, saya bunuh Gerson. Ternyata Gunawan Mohamad pun humanis sejati.

Malam pembantaian para jenderal itu punya cerita bagiku. Tahun lalu aku diundang oleh Markas Besar Kepolisian untuk meliput wisuda polisi di Mega Mendung. Busnya menunggu di Markas Besar. Jam enam wartawan diangkut. Aku katakan kepada isteriku supaya bangunkan aku jam dua dinihari. Seperti tahun lalu aku akan berjalan kaki pukul dua lalu mampir minum kopi atau teh di sejumlah warung sepanjang perjalanan dari rumahku di Jl Piere Tendean sekarang ke Kebayoran Baru. Rasanya seperti ada malaikat yang melarangku keluar rumah walaupun isteriku sudah membangunkanku. Kalau aku bangun dan berangkat tentulah aku dan polisi bersepeda itu akan mencari tahu apa gerangan yang terjadi. Polisi itu tentu bebas tetapi di sana ada Pemuda Rakyat dan lain-lain mengenalku. Apakah aku akan dimasukkan juga ke dalam sumur? Ah, ada-ada saja imajinasi ini!

Pertemuanku terakhir dengan Bung Karno ketika Sukmawati menikah di rumah Ibu Fatma di Kebayoran Baru. Aku pura-pura masuk lewat pintu halaman depan. Seorang tentara berpakaian sipil menegurku. Aku mundur dan berdiri bego bersama wartawan dalam dan luar negeri yang ingin tahu keadaan Bung Karno setelah delapan bulan ditahan. Akan tetapi akhirnya aku bisa masuk dan duduk bersama kerabat Bung Karno kira-kira dua jam lamanya dan ketika Bung Karno datang aku melihat lututnya yang gemetaran mungkin karena encok ketika naik tangga pintu rumah, ditarik oleh Ibu Fatmawati.

Tiba-tiba aku dipeluk oleh seorang petugas dan membawa aku keluar lewat pintu samping melewati kamar anak-anak Bung Karno. Petugas yang menjaga di pintu halaman depan membentak marah. "Hah, dia bisa masuk ya!" Untung ada teman yang melerai dengan kata-kata lucu kurang lebih, "Dia itu orang Sunda, namanya gelap." Lalu seorang wartawan asing mengejarku, berkata, "We pay you, we pay you." Maksudnya dia akan membayar informasi yang kuperoleh dari dalam. Akan tetapi aku tidak ngobrol dengan teman-teman, takut dilihat Oom Yu Sin wartawan tua Sinar Harapan yang sering memarahiku ketika sosialismeku kumat membagi berita eksklusif. Hore,motor merek Jawa mendetak-detak ke kantor disusul mesin tik kantor mendetak-detik menulis berita eksklusif. Itulah pertemuan terakhirku dengan Bung Karno. ***

Sumber Posting: Suara Karya - Sabtu, 22 Maret 2008

Tidak ada komentar: